Home

Kamis, 28 April 2011

Collaboration = Teamwor + Leadership + Communication


"Di dalam rumah sakit berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan masing-masing berinteraksi satu sama lain . Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam rumah sakit.(UU no 44 thn 2009 tentang rumah sakit) ”

Kolaborasi sudah banyak diterapkan pada setting kesehatan dimasa sekarang. Dalam konteks kerja dan organisasi sebuah institusi kesehatan dijalankan oleh tim multiprofesional di mana menangangi berbagai macam prosedur pelayanan pasien. Dalam hal ini, tim terdiri dari berbagai macam profesi di mana bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang berbeda pula. Idealnya tidak ada overlapping antara satu profesi dan profesi lainya.

 
Kolaborasi tidak bisa terbentuk dengan sendirinya dalam sebuah organisasi. Dibutuhkan faktor-faktor tertentu untuk memunculkannya. Walaupun pada kenyataanya, masih sangat sulit dan merupakan tantangan tersendiri untuk menerapkannya. Karena setiap profesi dalam sebuah tim memiliki standar dan budaya profesional tersendiri.

Pertama profesi dokter, dokter mempunyai konsep kerja yang lebih mengarah kompetitif daripada koorperatif. Budaya ini telah terbentuk sejak masuk dalam fakultas kedokteran, di mana dokter dibentuk di dalam lingkungan dengan daya saing tinggi. Walaupun proposi angka dokter dalam institusi kesehatan paling kecil, tetapi dokterlah yang paling berpengaruh dalam institusi kesehatan tersebut. Dokter mempunyai tugas besar dalam membuat keputusan tindakan medik yang akan berpengaruh juga terhadap profesi lainnya. Isitlahnya, dokter adalah sebuah prime-mover. Sebagai contoh, perawat akan merencanakan nursing care berdasarkan keputusan dokter. Farmasist akan menyiapkan obat-obatnya dibutuhkan berdasarkan rekomendasi dari dokter. Dietician akan mengatur menu makanan pasien berdasarkan arahan dari dokter juga.

Perawat merupakan kelompok terbesa dalam institusi kesehatan. Perawatan atau caring adalah kegiatan utama dari perawat. Kegiatan ini juga termasuk dalam salah satu pentingnya sebuah pelayanan medik. Care yang dilakukan oleh perawat dan dokter sangatlah berbeda, tetapi saling melengkapi. Sehingga kolaborasi antara keduannya sangatlah dibutuhkan.

Manajer kesehatan juga merupakan salah satu profesi yang penting. Tugas utamanya adalah memastikan sistem pelayanan kesehatan yang layak baik secara operasional maupun finansial. Masih banyak profesi-profesi lain yang tergabung dalam institusi kesehatan.

Kolaborasi yang efektif mencakup penerapan strategi di mana setiap profesi yang berbeda budayanya berkerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam konteks kesehatan, setiap profesi kesehatan harus terjalin dalam arahan yang sama untuk mencapai visi yang sama pula. Setiap profesi harus mengeti peran dan tugas kerja masing-masing. Seorang pemimpin (leader) juga sangat dibutuhkan agar sebuah tim tidak kehilangan fokus untuk mencapai tujuanya.

 
Kerja sama dalam tim (team work) adalah istilah yang popoler dalam majamanen organisasi. Ada empat tipe team work (Kreitner& Kinicki), yaitu:
  1. Advice team. Tim ini dibentuk untuk memberikan informasi dan masukan dalam pengambilan keputusan.
  2. Production team. Tim ini bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan sehari-hari.
  3. Project team. Tim ini dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan terentu dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
  4. Action team. Tim ini bertanggung jawab dalam menjalankan aktivitas-aktivitas dalam suatu organisasi.
Terciptanya team work efektif juga membutuhkan sebuah team-friendly organization. Hal ini dapat terwujud dengan adanya sistem pendukung yang dibentuk oleh manajemen organisasi yang sadar akan pentingnya sebuah team work. Setiap kontribusi dari anggota tim harus saling melengkapi bukan saling duplicating dan overlapping. Pembagian kerja dan tanggunjawab dibagi menurut kompetensi masing-masing tetapi tetap diarahkan pada tujuan yang sama. Kegagalan dari sebuah tim juga akan ditanggung oleh seluruh tim, tanpa memperhatikan posisinya dalam organisasi.


Kepemimpinan atau leadership di dalam organisasi kesehatan adalah salah satu kompetensi penting yang harus dimiliki oleh profesi kesehatan terutama dokter. Sikap dan skill kepemimpinan ini biasanya lebih sering didapat dari pengalaman-pengalaman kerja ketimbang ketika masih dalam masa pendidikan.
Leadership adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengerti akan waktu dan cara untuk membuat perubahan, untuk mengenali arah perubahan, untuk mengkomunikasikan strategi perubahan tersebut kepada anggota-anggotanya, dan memberdayakan dan memfasilitasi meraka dalam mencapai tujuan perubahan tersebut. Ada empat elemen dari leadership yang telah banyak di akui dalam organisasi, yaitu:
  1. Leadership adalah proses antara pemimpin dan pengikutnya
  2. Leadership membutuhkan pengaruh sosial
  3. Leadership terjadi pada berbagai macam tingkat di organisasi
  4. Leadership fokus pada pencapaian tujuan
     
"Leadership requires knowing where you want to go, taking people with you, and giving sufficient time and energy to make it happen"

Inti utama dari sebuah leadership adalah membangun visi dan komitmen. Visi dan tujuan yang jelas dari seorang pemimpin akan membawa anggota pengikutnya kepada arahan yang diinginkan. Tujuannya untuk membuat suatu komitmen dari anggota, sehingga anggota akan bersedia untuk meluangkan waktu dan tenanganya agar terealiasinya sebuah visi. Motivasi dan kepercayaan adalah modal utama dalam terbentuknya suatu komitmen.

Komunikasi adalah proses dimana informasi mengalir dari sumber ke penerima. Setiap profesi kesehatan berkomunikasi karena tuntutan untuk berkolaborasi dan bekerja sama. Persespi adalah inti dari komunikasi karena jika persepsi tidak akurat, mustahil akan terbentuk sebuah komunikasi yang efektif. Komunikasi dibagi dalam dua bentuk yaitu komunikasi verbal(pesan, kalimat) dan non verbal( eye contact, raut wajah, bahasa tubuh). Komunikasi juga dapat dibagi menurut tipenya, yaitu :
  1. Aggresive : mendominasi dan mengontrol segalanya (we win - everyone else lose)
  2. Passive : menghindari konflik secara tidak langsung (we lose -everyone else wins)
  3. Assertive : menghormati pilihan dan kepercayaan orang lain ( everybody wins). Elemen- elemennya terdiri dari fairness, directness, sensitivity, honesty.
     
     
     
Referensi :
  • Kreitner R., Kinicki A. 2007. Organizational Behavior : 7th ed. McGraw Hill, International.
  • Lecture note Ir. Valentina. Communication
  • Lecture note Prof. dr. Budi Mulyono Sp.PK (K). Team Work and Leadership
  • UU no 44 thn 2009 Tentang Rumah Sakit

Stop Nosocomial Infection in Your Hospital


Infeksi nosokomial telah menjadi momok berbahaya bagi institusi kesehatan terutama rumah sakit sejak dulu. Sebutan bahwa rumah sakit bukan hanya sebagai tempat untuk penyembuhan tetapi juga sumber dari infeksi memang sudah menjadi rahasia umum. Hal ini tentunya sangat merugikan bagi pasien, karena selain memperpanjang masa perawatan di rumah sakit, meningkatnya biaya kesehatan juga merupakan dampak yang seharusnya bisa di hindari.

Infeksi nosokomial adalah Infeksi yang belum ada ketika pasien masuk rumah sakit dan kemudian muncul ketika dalam masa perawatan inap di rumah sakit(umumnya 3x24 jam). Infeksi nosokomial telah menyebar secara luas. Mereka juga merupakan kontributor untuk meningkatnya morbiditas dan kematian. Kebutuhan untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin meningkat terlebih lagi dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan seperti yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Hal ini terjadi kerena :
  • Meningkatkan jumlah dan kepadatan orang
  • Gangguan kekebalan yang bertambah sering (usia, penyakit danperawatan).
  • Mikroorganisme baru (Lebih cenderung kepada gram negative bacteria)
  • Meningkatkan daya tahan bakteri terhadap antibiotik (resistance) akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional.

Ada dua penyebaran utama dalam terjadinya infeksi nosokomial, antara lain :
  1. Endogenous, self-infection atau auto-infection: agen penyebab terjadinya infeksi nosokomial berasal dari pasien itu sendiri dan muncul ketika sedang rawat inap di rumah sakit sebagai akibat dari menurunnya daya imunitas tubuh pasien. (contohnya luka operasi yang belum sembuh dipegang dengan tangan pasien yang tidak steril)
     
  2. Cross contamination diikuti dengan cross infection: Penyebaran infeksi nosokomial melalui kontak dengan agen kausatif baru yang kemudian terjadi infeksi baru. Kontak ini bisa berasal dari petugas paramedis, pasien lain, dan lingkungan seperti air, udara, makanan, serta prosedur dan alat medik (ventilator, iv line, catheter)
Prinsip utama dalam pencegahan infeksi nosokomial adalah memutus rantai penyebaran terjadinya infeksi nosokomial dan memisahkan sumber potensial terjadinya infeksi.


Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk petugas Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya merupakan sarana umum yang sangat berbahaya, dalam artian rawan, untuk terjadi infeksi. Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit, dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu.
Salah satu strategi yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode Universal Precautions atau dalam bahasa Indonesia Kewaspadan Universal ( KU ) yaitu suatu cara penanganan baru untuk meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa memperdulikan status infeksi. Strategi ini mencakup :

  1. Personal hygiene
  2. Cuci tangan menggunakan sabun atau disinfektan dan air mengalir
  3. Penggunaan baju pelindung, masker, sarung tangan, dan penutup kepala
  4. Sterilisasi, desinfeksi, antiseptik dan dekontaminasi
  5. Kewaspadaan Universal pada pengelolaan dan penggunaan alat tajam(injeksi, iv line)
  6. Pengelolaan limbah dan lingkungan
  7. Surveilance
  8. Penetapan standar dan prosedur kerja

Tindakan surveilance mengambil peran sangat penting dalam strategi pencegahan infeksi nosokomial. Dengan pemantauan terus menerus oleh tim yang telah dibentuk oleh rumah sakit untuk menemukan kasus infeksi nosokomial. Hal ini dilakukan untuk menjaga standar kualitas rumah sakit dan memantau prilaku para pekerja medis di rumah sakit. Diharapkan dengan adanya surveilance ini maka :
  1. Menurunnya angka infeksi nosokomial di rumah sakit
  2. Menurukan angka morbiditas dan mortalitas pasien
  3. Mengubah prilaku tenaga kesehatan
  4. Melindungi tenaga kesehatan agar lebih waspada terhadap sumber infeksi di rumah sakit

Resiko terjadinya infeksi nosokomial memang berbagai macam, berikut bentuk atau jenis infeksi nosokomial :
  1. Infeksi saluran kemih (paling sering). Infeksi ini paling sering disebabkan oleh pemasangan catheter. Biasanya terjadi apabila pemasangan yang tidak steril, fikasi yang kurang kuat, pemasangan melewati batas pengunggunaan( sebaiknya diganti 5-7 hari).
  2. Infeksi vaskuler. Paling banyak disebabkan oleh pemasangan infus. Sumber infeksi bisa berasal dari waktu dan cara pemasangan infus, jarum dan infus set, serta botol infus itu sendiri.
  3. Infeksi luka operasi. Resiko terjadinya infeksi luka operasi tergantung kepada jenis, macam operasi, keadaan umum penderita, ketrampilan dokter bedah, dan proses perawatan luka.
  4. Infeksi luka non operasi. Contohnya pada penanganan luka bakar dan dekubitus.
  5. Infeksi saluran pernapasan. Predisposisi terjadinya infeksi ini yaitu derajat keparahan penyakit pasien, rawat inap yang terlalu lama, usia rentan (terlalu muda atau tua) dan penggunaan alat bantu pernapasan (ventilator).

Pencegahan terjadinya infeksi nosokomial memerlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program untuk mengawasi kejadian infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya. Dari batasan ini dapat disimpulkaan bahwa kejadian infeksi nosokomial adalah infeksi yang secara potensial dapat dicegah. Tenaga kesehatan berperan penting dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial karena mereka merupakan ujung tombak dalam upaya pelayanan kesehatan.


Referensi :

Kewaspadaan Universal (Universal Precaution)


Apa Kewaspadaan Universal Itu?

Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) adalah kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan perlakuan terhadap setiap pasien, dan tidak tergantung pada diagnosis penyakitnya (kamus-medis).

Cara agar petugas perawatan kesehatan dapat menghindari infeksi dari infeksi yang diangkut aliran darah, seperti HIV atau hepatitis B dan C. Kewaspadaan umum pertama dikembangkan pada 1987 di AS. Pedoman termasuk penggunaan sarung tangan lateks, masker, dan kacamata pelindung jika pekerjaan ada kaitannya dengan darah atau cairan tubuh (Komunitas AIDS Indonesia).
 
Ada berbagai macam infeksi menular yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh lain seseorang, di antaranya hepatitis B dan C dan HIV. Mungkin juga ada infeksi lain yang belum diketahui, harus diingat bahwa hepatitis C baru ditemukan pada 1988. Sebagian besar pasien dengan infeksi tersebut belum tahu dirinya terinfeksi.

Dalam semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas dan praktek dokter gigi, tindakan yang dapat mengakibatkan luka atau tumpahan cairan tubuh, atau penggunaan alat medis yang tidak steril, dapat menjadi sumber infeksi penyakit tersebut pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi seharusnya ada pedoman untuk mencegah kemungkinan penularan terjadi.

Pedoman ini disebut sebagai kewaspadaan universal. Harus ditekankan bahwa pedoman tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV, tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat dan sebetulnya lebih mudah menular.

 
Bagaimana Kewaspadaan Universal Diterapkan?
 
Karena akan sulit untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi atau tidak, petugas layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan universal secara penuh dalam hubungan dengan SEMUA pasien, dengan melakukan tindakan berikut:

 
  • Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasien atau setelah membuka sarung tangan
  • Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh
  • Pakai sarung tangan bila mungkin akan ada hubungan dengan cairan tubuh
  • Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan tubuh
  • Tangani dan buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman; yang sekali pakai tidak boleh dipakai ulang
  • Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh dengan bahan yang cocok
  • Patuhi standar untuk disinfeksi dan sterilisasi alat medis
  • Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan prosedur
  • Buang limbah sesuai prosedur

Metode Mencuci Tangan 
  • Gunakan sabun cair lebih bagus dan dilakukan di air hangat mengalir.
  • Gosok tangan bersama-sama dengan selama minimal 30 detik.
  • Ingat untuk mencuci semua permukaan termasuk ibu jari, pergelangan tangan, punggung tangan, antara jari dan sekitar dan di bawah kuku.
  • Bilas tangan dengan baik pada air mengalir dari pergelangan ke jari pada air mengalir.
  • Keringkan tangan dengan handuk kertas, lalu menggunakan handuk yang sama untuk mematikan kran.
  • Buang handuk

Ingat, cuci tangan SELALU SAAT:
  • Ketika anda tiba di penitipan anak
  • Sebelum dan Sesudah pemberian obat
  • Sebelum memulai perawatan
  • Sebelum dan Setelah menggunakan kamar mandi
  • Sebelum penanganan peralatan bersih
  • Setelah penanganan peralatan bersih
  • Sebelum dan Sesudah makan
  • Sebelum menangani makanan
  • Sebelum meninggalkan ruang perawatan

Apakah Ada Pilihan Lain? 
 
Sebelum kewaspadaan universal pertama dikenalkan di AS pada 1987, semua pasien harus dites untuk semua infeksi tersebut. Bila diketahui terinfeksi, pasien diisolasikan dan kewaspadaan khusus lain dilakukan, misalnya waktu bedah. Banyak petugas layanan kesehatan dan pemimpin rumah sakit masih menuntut tes HIV wajib untuk semua pasien yang dianggap anggota ‘kelompok berisiko tinggi’ infeksi HIV, misalnya pengguna narkoba suntikan. Namun tes wajib ini tidak layak, kurang efektif dan bahkan berbahaya untuk beberapa alasan:
  • Hasil tes sering baru diterima setelah pasien selesai dirawat
  • Bila semua pasien dites, biaya sangat tinggi
  • Jika hanya pasien yang dianggap berisiko tinggi dites, infeksi HIV pada pasien yang dianggap tidak berisiko tidak diketahui
  • Hasil negatif palsu menyebabkan kurang kewaspadaan saat dibutuhkan
  • Hasil positif palsu menyebabkan kegelisahan yang tidak perlu untuk pasien dan petugas layanan kesehatan
  • Tes hanya untuk HIV tidak melindungi terhadap infeksi virus hepatitis dan kuman lain dalam darah termasuk yang belum diketahui, banyak di antaranya lebih menular, prevalensinya lebih tinggi dan hampir seganas HIV
  • Tes tidak menemukan infeksi pada orang yang dalam masa jendela, sebelum antibodi terbentuk
  • Tes HIV tanpa konseling dan informed consent melanggar peraturan nasional dan hak asasi manusia
Bila kewaspadaan universal hanya dipakai untuk pasien yang diketahui terinfeksi HIV, status HIV-nya pasti diketahui orang lain, asas kerahasiaan tidak terjaga, dengan akibat hak asasinya terlanggar.

Mengapa Kewaspadaan Universal Sering Diabaikan?

Ada banyak alasan mengapa kewaspadaan universal tidak diterapkan, termasuk:
  • Petugas layanan kesehatan kurang pengetahuan
  • Kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya sarung tangan dan masker
  • Penyediaan pasokan tersebut kurang
  • Petugas layanan kesehatan ‘terlalu sibuk’
  • Dianggap Odha harus ‘mengaku’ bahwa dirinya HIV-positif agar kewaspadaan dapat dilakukan
Tambahannya, rumah sakit swasta enggan membebani semua pasien dengan ongkos kewaspadaan yang pasien anggap tidak dibutuhkan.

 
Apakah Risiko Jika Kewaspadaan Universal Kurang Diterapkan? 

Kewaspadaan universal diciptakan untuk melindungi terhadap kecelakaan yang dapat terjadi. Kecelakaan yang paling umum adalah tertusuk jarum suntik, yaitu jarum suntik yang dipakai pada pasien menusuk kulit seorang petugas layanan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa risiko penularan rata-rata dalam kasus pasien yang bersangkutan terinfeksi HIV adalah kurang lebih 0,3%, dibandingkan dengan 3% untuk hepatitis C dan lebih dari 30% untuk hepatitis B. Jika darah dari pasien yang terinfeksi mengenai selaput mukosa (misalnya masuk mata) petugas layanan kesehatan, risiko penularan HIV adalah kurang lebih 0,1%. Walaupun belum ada data tentang kejadian serupa dengan darah yang dicemar hepatitis B, risiko jelas jauh lebih tinggi.

 
Apa yang Dapat Dilakukan Jika Ada Kecelakaan?

Fasilitas layanan kesehatan harus mempunyai prosedur tetap yang dipakai bila ada kecelakaan. Satu pilihan untuk mencegah infeksi HIV setelah diselidiki adalah untuk menawarkan profilaksis pascapajanan (PPP).

 
Bagaimana Kita Dapat Mendorong Penerapan Kewaspadaan Universal? 
Jelas penerapan kewaspadaan universal yang tidak sesuai dapat menghasilkan bukan hanya risiko pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain, tetapi juga peningkatan pada stigma dan diskriminasi yang dihadapi oleh Odha. Jadi kita harus mengerti dasar pemikiran kewaspadaan universal dan terus menerus mengadvokasikan untuk penerapannya. Kita harus mengajukan keluhan jika kewaspadaan universal diterapkan secara pilih-pilih (‘kewaspadaan Odha’) dalam sarana medis. Kita harus protes dan menolak bila ada tes HIV wajib sebelum kita diterima di rumah sakit. Kita mungkin juga harus beradvokasi pada pemerintah daerah melalui KPAD dan pada DPRD agar disediakan dana yang cukup untuk menerapkan kewaspadaan universal dalam sarana medis pemerintah.

Remember This:
Kewaspadaan universal dimaksudkan untuk melindungi petugas layanan kesehatan dan pasien lain terhadap penularan berbagai infeksi dalam darah dan cairan tubuh lain, termasuk HIV. Kewaspadaan tersebut mewajibkan petugas/perawat agar melakukan tindakan tertentu seperti memakai sarung tangan jika mereka mungkin akan terkena cairan tubuh pasien. 
Karena tidak praktis untuk melakukan tes pada semua pasien untuk semua infeksi yang mungkin dapat menular, dan bila hanya pasien dari ‘kelompok berisiko tinggi’ dites bersikap diskriminatif (dan tidak efektif, antara lain akibat masa jendela), maka kewaspadaan universal mewajibkan agar SEMUA pasien dianggap terinfeksi. Penerapan kewaspadaan universal sering kurang baik. Sebagai Odha dan orang yang peduli, kita harus beradvokasi agar kewaspadaan universal diterapkan secara penuh
 source:

Profil Perawat Profesional

 
Pelayanan Keperawatan di masa mendatang harus dapat memberikan Consumer Minded terhadap pelayanan yang diterima. Implikasi pelayanan keperawatan akan terus mengalami perubahaan dan hal ini akan dapat terjawab dengan memahami dan melaksanakan karakteristik perawat profesional dan perawat millennium. Menurut Nursalam Peran perawat di masa depan harus berkembang seiring dengan perkembangan IPTEK dan tuntutan kebutuhan masyarakat, sehingga perawat, dituntut mampu manjawab dan mengantisipasi terhadap dampak dari perubahan. Sebagai Perawat professional maka peran yang diemban adalah “CARE” yang meliputi:

C : Communication :
A : Activity :
R : Review :
E : Education :
1. Communication
 
Perawat memberikan pelayanan keperawatan harus dapat berkomunikasi secara lengkap, adekuat, cepat. Setiap melakukan komunikasi (lisan dan tulis) harus memenuhi tiga syarat di atas dan juga harus mampu berbicara dan menulis dalam bahasa asing minimal bahasa inggris.

 
2. Activity
 
Prinsip melakukan aktifitas/pemberian asuhan keperawatan harus dapat bekerjasama dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya, khususnya tim medis sebagai mitra kerja dalam memberikan asuhan kepada pasien. Aktivitas ini harus ditunjang dengan menunjukan suatu kesungguhan dan sikap empati dan bertanggung-jawab terhadap setiap tugas yang diemban. Tindakan keperawatan harus dilakukan dengan prinsip: “CWIPAT”  

C : Check the orders & Equipment
W : Wash Your hands
I : Identify of Patient
P : Provide for Safety & Privacy
A : Asses the Problem
T : Tell the person or teach the patient about what you are going to do
 
3. Review
 
Prinsip utamanya adalah moral dan Etika keperawatan. Dalam memberikan setiap asuhan keperawatan perawat harus selalu berpedoman pada nilai-nilai etik keperawatan dan standar keperawatan yang ada serta ilmu keperawatan. Untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan peran ini maka perawat harus berpegangan pada prinsip-prinsip etik keperawatan yang meliputi:
 
a. Justice: Asas Keadilan

Setiap prioritas tindakan yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien, tidak ada diskriminasi pasien dan alat

b. Autonomy: Asas menghormati otonomi

Setiap manusia mempunyai hak untuk menentukan tindakan terhadap dirinya sendiri

c. Benefiency: Asas Manfaat

Setiap tindakan yang diberikan kepada klien harus bermanfaat bagi klien dan menghindarkan dari kecacatan

d. Veracity: Asas Kejujuran

Perawat dalam berkomunikasi harus mengatakan yang benar dan jujur kepada klien

e. Confidentiality: Asas Kerahasiaan

Apa yang dilaksanakan oleh perawat harus didasarkan pada tanggung-jawab moral dan profesi

 
4. Education
 
Perawat harus mempunyai komitmen yang tinggi terhadap profesi dengan jalan terus menerus menambah ilmu melalui melalui pendidikan formal/nonformal, sampai pada suatu keahlian tertentu. Pengembangan pelayanan keperawatan yang paling efektif harus didasarkan pada hasil temuan-temuan Ilmiah yang dapat diuji kesahihannya.